Seberapa Banyak Muslim Meyakini Bahwa Quran Itu Rapi, Jelas, Rinci dan Terjaga Sempurna?

Oleh: KALANGI

 

Para Muslim memuja kehebatan dan keunikan Kitab Quran yang dikatakannya sebagai pewahyuan surgawi yang tiada tara. Karena dari surga maka Quran diagungkan sebagai samudera maha luas yang tidak terselami manusia. Quran adalah “larger than life”! Itu sebabnya segala keanehan, kekusutan, dan semua ketidak logisan Quran serentak jadi terselesaikan ketika semuanya itu dianggap dan dinisbatkan sebagai keunikan dan kehebatan dari Kalimat Allah yang tiada tandingannya!

Tetapi sebaliknya, dengan mata telanjang seorang biasa pun mampu melihat sederetan kisah-kisah Quran yang saling tidak menyambung satu dengan yang lainnya. Sama sekali tidak ada satu pola penulisan yang baku, apakah itu kronologis ataupun topikal. Semuanya tercampur baur dan kacau tanpa ada kejelasan sistim maupun urutan. Dan sistim kacau ini – karena larger than life — harus diartikan sebagai “tampak kacau” tetapi sesungguhnya ia itu “tidak tercakup oleh sistim dunia”. Alur-akal semacam inilah yang selalu dipakai para ulama Islam untuk meredam setiap kritik terhadap Quran.

 

ACAK-LEPAS-BERANTAKAN

Quran, yang walau dihadirkan melalui “satu mulut”, namun merebakkan begitu banyak perguncingan, terang-terangan atau sembunyi-sembunyi. Tidak ada kitab lain di dunia yang ditulis dengan sistem yang begitu aneh. Topik, isi, dan urutan Al-Quran (baca: wahyu sempurna langsung dari mulut Allah sendiri) semuanya tersusun awut-awutan, acak, lepas-lepas, ulang-alik, serta loncatan tak beraturan! Apakah ini wahyu malaikat yang tertib ataukah ocehan berantakan dari orang yang kesurupan? Apakah Quran Kitab yang tiada tanding? YA, benar, karena nama judul-judul suratnya (bab) bahkan tidak merupakan tema dari isi suratnya! Ini akibat dari keacakan ekstrim yang tidak bisa dirujukkan lagi ke tema inti, karena tema intinya pun telah kehilangan polanya!

Surat dengan judul Al Israa’ misalnya terdiri dari 111 ayat, namun isinya yang berkaitan dengan Perjalanan Malam itu hanyalah di ayat pertama, dan itulah satu-satunya! Ayat ke-2 beralih tentang Musa, ayat-3 lari tentang Nuh, seterusnya tentang bani Israel, lalu tentang Quran, lalu melompat ke kejadian siang dan malam dan, bla...bla...bla..., seterusnya…

Wah, Allah manakah yang bersabda dengan sesukanya tanpa arahan-urut-tertib kepada pendengar-Nya? Bahkan membantah kepada sifat-sifat diriNya sendiri yang dikatakan terukur dan maha-rapi: “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran” (54:49) DAN  “…(inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci” (11:1).

 

ANTI-KRONOLOGI

Tanpa kecuali, semua hal yang terjadi di dunia tunduk kepada garis-urut kronologi yang Tuhan ciptakan. Kakek mendahului ayah mendahului anak mendahului cucu dst. Begitu pula kata-kata yang diwahyukan Allah pertama kali kepada Muhammad di gua Hira, yaitu:surat Al’Alaq, (surat ke-96, tahun 610) tentu mengawali wahyu manapun, yaitu surat Maryam (surat ke-19, awal-tengah surat Makkiyah), yang pasti mendahului

surat Al Israa’ (surat ke-17, mulai tahun 620), yang yakin telah mendahului

surat At Taubah (surat ke-9, surat Madaniyah yang terakhir)…

Maka segera terlihat bahwa “keajaiban” atau “keunikan” wahyu Quran ini terletak pada kesengajaan Allah memporak-perandakan susunan kronologi yang sudah Dia tetapkan. Kenapa dikatakan sengaja? Ya, karena oleh Allah sendiri, Quran sekarang telah-diatur dengan mengurutkan sistim urut sebaliknya (!), yaitu surat-9 At Taubah mendahului surat-17 Al Israa’ mendahului surat-19 Maryam, mendahului surat-96 Al’Alaq!

Tampaknya Allah yang awalnya menurunkan wahyu kronologis dari mulutNya, diubah lagi menjadi “akronologi”: wahyu dikocok ulang melawan waktu ketika-mana ia diturunkan aslinya. Sungguh ajaib bahwa Allah SWT berwatak dualistis dalam soal tertib waktu terhadap manusia: setelah wahyuNya ditundukkan kepada kronologi, lalu Ia mengacaukannya ulang dengan anti-kronologi, menentang sistim-waktu-urut yang Dia buat sendiri bagi jagad raya. Alhasil Muslim mendapati Quran yang tampak tersusun “asal-asalan”.

 

SISIP-MENYISIP

Dan diwaktu yang lain, Jibril Allah juga membisikkan (atau membiarkan Muhammad?) agar ayat-ayat dan surat dipindahkan dan dikacaukan letaknya, “tidak usah lagi” bermukim di tempat yang tadinya dia sudah ditempatkan baik-baik dalam jajaran Quran! Lihat contohnya surat Al Fatihah. Kapan surat itu diturunkan tak ada seorang saksi-matapun yang tahu. Yang kita tahu adalah justru sebaliknya dari Ibn Mas’ud, yaitu seorang sahabat Nabi yang paling direkomendasi oleh Muhammad untuk belajar Quran (Sahih al-Bukhari, V, pp.96-97), ia ini berkata dimuka umum: “Demi Allah, tidak ada satu ayat pun dari Al-Quran tanpa kuketahui latar belakang diturunkannya ayat tersebut. Tidak ada seorang-pun yang lebih mengetahui tentang Kitabullah dibanding aku…..” (HR.Ahmad bin Hanbal). Nah, orang inilah yang menampik Al-Fatihah sebagai surat wahyu bagian dari Quran (Suyuti dalam Al Itqan pp. 66, 67).

Baca juga Muqaddimah surat Yunus yang blak-blakan mencantumkan, “Surat Yunus terdiri atas 109 ayat, termasuk golongan surat-surat Makkiyah kecuali ayat 40, 94, 95 yang diturunkan … di Madinah”. Tampaklah bahwa pengacauan tempat asli ayat-ayat Allah telah dilakukan oleh penetapan Muhammad sendiri (tauqifi Nabi), dengan cara sisip menyisipkan ayat-surgawi:

“Diriwayatkan oleh Ibn Abbas dari Utsman ibn Affan bahwa apabila diturunkan kepada Nabi suatu wahyu, ia memanggil sekretaris untuk menuliskannya, kemudian bersabda, “Letakkanlah ayat ini dalam surat yang menyebutkan begini atau begitu.” (Tirmidzi, Sunan, kitab al-tafsir, bab surat 9).

Maka wahyu yang paling pertama diturunkan, Surat Al-Alaq, lalu ditempatkan menjadi surat dengan nomor urut ke-96. Kenapa 96? Wah, hanya setan yang tahu, bukan Allah! Anehnya lagi, wahyu awal itu hanya meliputi 5 ayat pertama diantara 19 ayat yang ada. Jibril rupa-rupanya menahannya, agar kelak bisa disisipkan oleh Muhammad dengan tambahan 14 ayat susulan (!), dan itu terjadi sesudah beberapa tahun kemudian! (M. Hadi Ma’rifat, Sejarah Lengkap Al-Quran, p.80)

 

BATAL-MEMBATAL SESAMA WAHYU 

Jibril as. bolak-balik membisikkan kepada Muhammad satu unit-wahyu disatu waktu dan tempat, tetapi diwaktu dan tempat yang lain Jibril yang sama turun lagi untuk membisikkan bahwa wahyu tersebut harus dibatalkan dan digantikan dengan yang sama atau yang lebih baik lagi (nasikh-mansukh, Qs 2:106)! Mengganti dan membatalkan Firman? Ganti dengan yang lebih baik? Tidak ada Kitab Suci lain dimana hukum Tuhan di-kanibal oleh sesama hukumNya. Setiap sifat ilahi adalah kekal, tentu termasuk Firman-Nya. Jibril ditugaskan hanya untuk menyampaikan sesuatu yang TERBAIK dari Allah yang Maha Tahu dan Maha Baik. Adalah suatu kekonyolan bila yang terbaik itu belakangan ternyata “kurang terbaik”, sehingga Allah susulkan lagi dengan yang “terbaik versi baru”, yaitu dengan cara menasakh-kan, membatalkan sejumlah ayat-ayat ALLAH yang terlanjur kurang pas (?) Begitu banyak kesia-siaan wahyu yang diulang-alik, yang mana Jibril diharuskan bolak balik khusus untuk men-transmisikannya kepada Muhammad apa-apa yang kurang pas untuk kemudian diganti dengan yang lebih pas! Padahal Firman Allah itu dikatakan jelas-jelas (muhkamat) tidak dapat ditukarkan dan tidak ada perubahan atasnya (6:34, 10:64, 48:23). Firman secara kekal ke kekal telah tercantum dalam induk Alkitab di sisi Allah (43:4 85:22).

Kita tahu seluruh ayat-ayat Quran di-klaim oleh seorang Muhammad yang mengatas namakan secara berantai dua sosok lain yang berbeda zatnya – malaikat Jibril yang juga mengatas namakan Allah SWT. Akan tetapi klaim ini tidak ada bukti keterlibatan atau manifestasi apapun dari pihak yang diatas-namakan itu! Kemudian ayat-ayat itu ditulis dan dikumpulkan ramai ramai (dan beberapa kali!) oleh para qurra (penghafal ayat-ayat lepas) yang berakhir dengan dekrit Khalifah tanpa disaksikan lagi oleh Muhammad. Maka  siapa sejati-jatinya yang berkata-kata dalam Quran itu? Apakah Allah? Ibril? Muhammad? Manusia lain? Sekalipun diimani mati-matian bahwa seluruh isi Quran adalah mutlak firman langsung dari Allah, namun nyatanya itu hanyalah buah hasil berantai yang tidak jelas siapa yang berfirman!

Misalnya saja, siapakah yang sesungguhnya berfirman dalam Al-Fatihah ayat 5:

“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan” Atau sebaliknya, kepada siapakah Allah telah berbicara ketika Ia bersabda: “Demi bintang ketika terbenam, kawanmu tidak sesat dan tidak pula keliru, dan tiadalah yang diucapkannya itu  menurut kemauan hawa nafsunya” (53:1-3). Dan banyak lagi ayat-ayat lain yang rancu begitu…. Untuk menghindari kerancuan tentang siapa-siapa yang sesungguhnya telah berfirman kepada siapa, maka Montgomery Watt terpaksa mengeneralisasikan semuanya dalam satu istilah: Quran berkata!

Muslim sangat awas bahwa rantai periwayatan sebuah Hadis (transmisinya/sanadnya) harus sampai kepada Nabi agar dapat disebut hadis shahih. Tetapi “sanad” Quran yang sesungguhnya jauh harus lebih kokoh ketimbang Hadis Nabi, justru diabaikan oleh Muslim! Sejarah mencatat bahwa rantai transmisi mushaf Utsman justru terputus “sanad”nya yang tak mencapai Nabi (!) Mushaf Utsman hanyalah salinan – bukan sumber primer – dari Mushaf Abu Bakar dll. Setelah tersalin, maka semua naskah primer Quran (atau bagian-bagiannya) diharuskan untuk dimusnahkan dengan perintah sepihak oleh Utsman (HS.Bukhari VI, p.479; Tafsir Tabari I, p.20), walau isinya saling beda dengan mushaf primer lainnya (misalnya Ibn Mas’ud hanya punya 110 surat, dan Ubay ibn Ka’ab malah 116 surat). Nah, naskah-naskah primer yang dimusnahkan inilah yang “terhapus sanadnya”, (tidak disaksikan oleh Muhammad) sehingga Muslim kini tidak bisa menunjukkan kepada dunia naskah manakah yang shahih dari mulut Muhammad. Dengan perkataan lain, mushaf yang dihasilkan atas dekrit kekuasaan Utsman ini sungguh harus gugur demi hukum, demi saksi dan bukti, demi moral dan etika!

 

KERUSAKAN STRUKTURAL

Dalam setiap Ramadhan, Jibril dikatakan selalu mengunjungi Muhammad dan keduanya asyik me-review ayat-ayat yang sudah diturunkan. Pertanyaan terbesar adalah apa yang direview? Ulama Islam mengatakan bahwa yang direview adalah semuanya, ya isi ayat, makna ayat, susunan dan urutan ayat. Nah, kalau sudah mereview begitu, kenapa masih ada ayat-ayat Quran yang acak, yang sisipan susulan, dan urutan kronologi yang simpang-siur? Kenapa tidak direview keaslian ayat-ayat Allah dengan mendasarkan apa yang sudah mulus-mulusnya ia diturunkan sejak awal, dan tidak dikacaukan lagi? Jadi benarkah itu asli Quran surgawi, asli eks-sosok malaikat Jibril yang Tuhan utuskan? Tidakkah kompilasi seorang Muhammad yang karena cacatnya dia dalam aksara (ummi) maka “tauqifi Nabi” yang dicobainya untuk “membenahi” sistim penyusunan kitab malahan menjadikannya kacau berarakan?!

Bagaimanapun, urutan asli surat dan ayat yang kacau balau telah terjadi secara struktural di seluruh Quran. Padahal ia semestinya mengikuti urutan tertib kronologi yang alami OTOMATIS ketika Jibril menurunkan wahyu awalnya yang asli, yaitu berturut-turut: Surat Al-Alaq (96),

Al-Qalam (68),

Al-Muzzammil (73),

Al-Muddatstsir (74), dan seterusnya.

(menurut Allamah MH. Thabathaba’i, Mengungkapkan Rahasia al-Quran, p 124).

Namun kini urutan tersebut telah diduduki secara tidak jelas dan tanpa alasan dari Muhammad (atau sahabatnya) yang mengatas namakan Jbril/Allah SWT, menjadi:surat 1 (Al-Fatihah),  lalu surat 2 (Al-Baqarah), dan seterusnya, seperti kitab Quran saat ini.

Sepantasnya Muslim bertanya, “Kenapa sesudah Jibril menurunkan Quran awal dengan tertib urut kronologi lalu harus mendadak merombaknya dengan urutan acak dan sisip? Apakah ada keunggulan nyata sistim anti-kronologi dan bongkar pasang buat Quran? Apakah kerja demikian adalah BENAR dimata Allah (?), dan merupakan ciri kerja Allah sendiri menuruti hakekatNya yang tertib, rapi, dan jelas terperinci seperti yang Dia klaim sendiri tentang diriNya (?), “…(inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci” (Surat 11:1)? Bahkan benarkah semua kekacauan ini membuktikan jaminan mutlak dari Allah bahwa Ia sendirilah yang menjaga wahyuNya (?),

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (15:9).

Muslim yang bernalar agaknya tak bisa lain kecuali merasa amat risau mencernakan pernyataan orang-orang yang mempertanyakan sepak terjang Jibril: “Apakah Jibril tidak ada kerjaan lain kecuali mengurusi ayat dan surat yang acak-acak dan sisip-sisip dan batal-batal dan ganti-ganti dan urut-urut …  semuanya bolak-balik berulang-ulang?!”