Kesaksian Pdt. Dr. Muhammad Fatah

(Disampaikan dalam Forum Arimatea - Jakarta)

Terima kasih, salam sejahtera untuk kita sekalian. Nama saya Muhammad Fatah. Usia 68 tahun, tempat tanggal lahir Karangkobar, 21 Desember 1936. Pendidikan tamat SD tahun 1950, tertunda 2 tahun karena masa itu adalah masa perang kemerdekaan sehingga harus mengungsi kesana kemari. SMP selesai tahun 1953, SMA 1956 di Yogyakarta. Pendidikan dari tahun 1956 hingga 1960 di Fakultas Sosial Politik jurusan Pemerintahan Universitas Gajah Mada, kemudian ditugaskan ke luar daerah dalam rangka pengerahan tenaga mahasiswa untuk mengajar di sebuah sekolah menengah atas di luar Jawa. Pendidikan teologi, pada tahun 1970-1972 pendidikan dasar teologi Kristen, teologi lanjutan 1986, Master of Ministry, teologi lanjutan untuk S-3 jurusan Misiologi tahun 1999. Pengalaman menjadi dosen pada beberapa Sekolah Tinggi Teologia di Jakarta dan di Jawa Timur, juga di pulau Batam. Pengalaman yang lain adalah tahun 2001, menghadiri pertemuan internasional, Christian Fellowship International, yaitu pelayanan ke penjara-penjara di Johanesburg Afrika Selatan. Tahun 2003, seminar pelayanan di University Technology Sydney Australia, bulan Maret dan April tahun ini, menjadi utusan dari Non-Governmental Organization, HAM ke United Nation High Commission on Human Right Conference di Jenewa (Swiss), bersama-sama dengan 15 orang anggota, yaitu untuk menyampaikan masalah-masalah crime against humanity (kejahatan terhadap kemanusiaan) yang terjadi di Indonesia, masalah-masalah mengenai buruh migran, masalah-masalah yang terjadi pada bulan Mei 98 (Kerusuhan Mei), masalah Papua, masalah Aceh, masalah orang hilang dan genosida. Itulah pengalaman yang saya alami, dan sebenarnya tadi malam kami diajak untuk menghantarkan atau mengunjungi pemakaman almarhum Munir dari Kontras, tapi karena ada acara disini kami tidak bersedia.

Saya senang sekali bertemu dengan bapak ibu saudara dengan platform bahwa kita semua adalah keturunan Adam dan kita semua adalah orang-orang yang beragama, dan kita semua adalah bangsa Indonesia. Jadi platform yang sangat baik untuk membangun bangsa ini yaitu dari sisi kepentingan bangsa dan negara kita. Terima kasih.

Selanjutnya paparan yang kedua adalah mengapa saya dari seorang Muslim menjadi Kristen. Saya mempunyai suatu pergumulan yang timbul. Jawabannya secara pasti bagi diri saya yang sudah mulai dari tahun 50-an, kemudian ada satu pergumulan karena usia makin bertambah, yaitu suatu problem tentang kepastian keselamatan sesudah orang itu mati. Jadi problem the life after the death (masalah hidup sesudah mati) itu mulai mengganggu saya dari tahun 1962 dan itu berjalan lebih kurang 7 tahun lamanya. Saya belum menemukan bagaimana supaya hati saya mendapatkan suatu kepastian bahwa setelah mati saya tidak akan masuk neraka. Nah pergumulan ini selama 7 tahun, yaitu dari tahun 1962 sampai tahun 1969, dimana pada akhirnya saya mengusahakan mencari jalan yaitu dengan berpuasa 40 hari. Dan pada masa puasa ini banyak perkara-perkara yang terjadi. Sebagai orang Jawa, saya dari Jawa Tengah yang juga tentu bagi masyarakat Jawa pada umumnya ada banyak jenis puasa, misalnya puasa Senin Kemis dan sebagainya. Ketika menjalankan puasa itu, problem yang saya hadapi adalah soal kehidupan, bagaimana kehidupan setelah kematian. Tentu ada yang bisa menerima ada yang tidak bisa menerima. Bahwa Tuhan berbicara melalui hal-hal yang konkret, disamping melalui mimpi pun Tuhan bisa berbicara. Juga Tuhan bisa berbicara melalui visi atau penglihatan. Dan pada puasa yang kesembilan belas hari, saya diberikan beberapa visi. Visi ini saya terima dalam keadaan tidak tidur dan tidak bangun karena biasanya jam 3 atau setengah tiga saya bangun, dan pada waktu itulah kami menerima beberapa visi yang tidak pernah saya alami sebelumnya. Ini tentunya adalah sesuatu yang bersifat pribadi yang tentunya tidak rasional. Beberapa perempuan mendatangi saya dalam visi itu dan mereka sepertinya tengah mengkhotbahi saya. Kemudian setelah itu, ada beberapa orang lagi pendeta yang memakai seragam hitam membawa Alkitab dan mengkhotbahi saya. Lewat lagi seorang pendeta memakai seragam putih membawa Alkitab dan mengkhotbahi saya. Setelah mereka lewat ada 3 orang yang tidak membawa Alkitab tetapi memakai jubah. Dari ketiga orang itu, yang pertama adalah seorang yang tinggi besar dan saya tidak kenal, dan dia memerintahkan pada saya untuk ikut, karena itu saya terus ikut. Yang memakai jubah dan bertubuh tinggi besar itu mempersilahkan saya untuk memilih dari dua jenis minuman, 2 gelas minuman, yaitu teh dan susu. Kemudian gelas yang berisi susu saya sambar.

Kemudian peristiwa itu berlangsung di hari kesembilan belas sampai keduapuluh lima. Dan pada waktu–waktu itu, saat melakukan puasa itu, saya didatangi lebih kurang 100 malaikat, yang mana mereka datang seperti burung dara turun dari langit. Dan kemudian mereka mendarat di depan kami. Peristiwa ini sungguh sangat indah kalau dilihat dengan kacamata telanjang. Malaikat itu membawa almarhumah adik saya. Ternyata bahwa pada peristiwa itu memang adik saya baru saja meninggal tapi saya tidak tahu, dan malaikat yang terdepan itu membawa jenasah adik perempuan saya ini dibawa terbang ke langit arah timur, dan pemandangan ini sangat...sangat mencekam, dan sangat menarik sekali, dan seolah-olah saya ingin mengikuti lebih kurang 100 malaikat itu terbang, saya ingin mengikuti mereka, tapi malaikat yang terakhir kemudian mencabut pedang, dan memberitakan pada saya bahwa waktunya bagi saya belum tiba. Jadi kalau seandainya saya pada waktu itu ikut, maka saya tidak akan ada di sini hari ini. Itulah pemikiran saya, dan saya diperintahkan untuk masuk ke kota, kemudian masuk ke dalam hutan yang lebat, menyeberangi sungai, di dalam hutan itu sangat mengerikan karena gelap gulita; ada banyak pohon besar dan binatang yang buas dan pada saat itulah saya tidak berdaya lagi dan saya tersungkur dalam keadaan ketakutan.

Kemudian saya mendengar satu suara; “Jangan kamu takut, Aku beserta dengan kamu”. Peristiwa ini berlangsung selama masa rentang hari kesembilanbelas dan duapuluh lima. Sebelum visi yang diberikan itu selesai, kemudian ada segumpal api sebesar kepala dan ada buntut-buntutnya datang dari arah timur menabrak muka saya, dan saya sama sekali tidak mengerti apa maknanya. Kemudian yang terakhir ada yang mendatangi saya dari arah tenggara menuju barat daya, ya... ke barat daya; dan waktu itu saya panggil nabi Isa dan dia tersenyum kepada saya. Saya sama sekali tidak mengerti apa maksudnya. Oleh karena ini ada satu hal yang sangat...sangat unik dalam kehidupan pribadi saya, saya tanyakan kepada seorang pendeta yang pada akhirnya pendeta itu juga yang membaptis saya, yaitu almarhum, pendeta Alexander Supit. Pak pendeta apa makna semuanya ini. Pendeta itu mengatakan: “Kalau kamu seorang pembunuh, biasanya Yesus yang sekarang ini saya sebut Dia Tuhan, hanya akan memperlihatkan lambungnya yang kena tombak. Kalau kamu seorang pencuri dia tidak memperlihatkan wajahnya yang penuh kasih itu tapi memperlihatkan tangannya yang berlubang.”

Barangkali ada pertanyaan dari bapak ibu sekalian, kenapa visi-visi ini tidak saya tanyakan kepada para ulama. Waktu itu saya ada di Manado, dan saya ditugaskan untuk mengajar di SMA negeri disana. Jadi komunikasi atau milio disana adalah milio Kristen dan saya tanyakan pada pendeta dengan mengutarakan apa yang tadi sudah saya sampaikan. Dan dari situ saya mengambil satu kesimpulan bagaimana caranya saya bisa diselamatkan dan mendapatkan damai sejahtera dalam hati. Setelah pengalaman itu, saya kemudian menyatakan diri saya sebagai pemeluk agama Kristen; dan tentu saja visi ini adalah sesuatu yang tidak rasional dan tidak bisa dicerna dengan akal pikiran. Oleh karena itulah maka visi-visi yang saya terima dari Tuhan itu mulai saya selidiki dan ternyata ketika saya masih kecil, masih SD, saya pernah bertanya kepada yang mengajar saya (waktu itu saya masih seorang Muslim): “Pak ustad, kalau kepingin ke surga itu bagaimana caranya?” Pak Ustad menjawab: “Wah kamu harus melalui jembatan yang digambarkan seperti kajio rambut pinoro pitu (seperti rambut dibelah tujuh), dan dibawah jembatan itu ada suatu jurang yang dalam dan tidak semua orang bisa.” Kemudian saya coba membayangkan apakah mungkin ada orang yang bisa melewati jembatan itu. Kemudian saya mengambil kesimpulan bahwa ketidak-mungkinan itu karena konsep-konsep yang ada pada diri manusia, sehingga menyebabkan orang tidak bisa menyeberang.

Kepada bapak ibu sekalian dan kepada forum Arimatea ini, saya mengucap syukur kepada Tuhan untuk waktu yang sangat baik dimana kita semua sebagai bangsa Indonesia, kita semua adalah keturunan Adam, dan kita semua sedang dalam perjalanan untuk mencari kebenaran yang hakiki. Dan di dalam masa transisi bagi kita sekalian yang masih hidup di dunia ini, merupakan suatu berkah bahwa kita bisa berdialog melalui forum Arimatea. Untuk itu saya mengucapkan terima kasih.