What If: Perempuan Diperlakukan Lebih Jelek Oleh Muhammad Ketimbang Di Masa Pra Islam?

Oleh: H. Aljabar

Kebanyakan Muslim percaya bahwa Arabia adalah tempat tinggal manusia pertama di dunia. Tempat Adam dan Hawa diturunkan ke  Safa dan Marwa untuk keduanya dipertemukan. Arabia adalah juga asal-usul tempat kelahiran agama Ibrahim, yang kini diwasiatkan ke dalam agama Islam. Tempat dimana Ibrahim  dan Ismail membangun dasar-dasar Baitullah untuk menjadi tanda kelak – ribuan tahun kemudian – bahwa Allah juga akan menurunkan pewahyuan kepada Nabi-Nya yang terakhir, Muhammad. Baitullah di Arabia itu pulalah tempat beribadah pertama yang paling mula didirikan untuk manusia sedunia. Bahasa Arab tiba-tiba menjadi pengganti dan pengulang bahasa pewahyuan para Nabi dulu (Ibrani dan Aram dan Greeka), lewat kepanjangan lidah Ruh dan para malaikat yang menyampaikan Firman-Nya secara jelas dan terang...Muhammad adalah orang Arab totok, dilahirkan dari bapak dan ibu Arab. Dipilih dan dipanggil Allah untuk memerdekakan Arabia (dan kelak dunia) dan membebaskannya dari zaman jahilliah pra-Islam, yang dimaknai sebagai zaman kebodohan dan kegelapan. Islam yang dibawakannya harus menyinarkan cahaya kefirdausan ke segala arah dan dimensi kehidupan, menjadi sumber pembaharuan, inspirasi, dan tolak ukur untuk semua peradaban dunia...dan tentu saja termasuk memajukan status wanita Arabia yang sedang dianggap rendah-rendahnya dikala itu.

Status perempuan yang bagaimanakah yang sudah dimajukan oleh Muhammad?   

Tetapi kehidupan “jahil” yang bagaimana yang dialami perempuan di Arabia sebelum Islam? Apakah Islam benar memajukan status wanita seperti yang dislogankan dalam satu “koor” Islamik? Atau jangan-jangan stagnan atau mundur justru setelah Islam muncul? Bagaimanapun, selama orang-orang berhati nurani, mereka selalu beranggapan bahwa kehidupan tetap akan berkembang dengan memberi dampak yang memajukan komunitas dalam bidang sosial dan rohani. Apalagi kalau dipicu oleh pengajaran agama yang akan mempercepat pembaharuan sosial rohani yang menjadikan manusia makin merasa damai, mulia, dan rewarding dengan dirinya, sesamanya, dan Tuhannya! Namun belakangan ini, terutama sejak maraknya ancaman teroris dan berpuncak pada penyerangan WTC 11/9, 2001, orang mulai melihat betapa agama bisa dengan mudah dibajak dan ditunggangi secara politik untuk mengadakan penghancuran peradaban & kehidupan yang damai, mulia dan rewarding sebagaimana yang dijanjikan oleh suatu agama.

Seorang Nabi Besar telah berkata dengan benarnya 2000 tahun yang lalu, “akan datang saatnya bahwa setiap orang yang membunuh kamu akan menyangka bahwa ia berbuat bakti bagi Tuhan” (Yohanes 16:2). Jikalau tingkat penyesatan agama sampai mampu “mentransformasikan” seseorang, sehingga ia rela dan bangga membunuh orang dengan membunuh dirinya, maka setidaknya sangatlah  mudah bagi agama untuk menyesatkan orang pada tingkat yang lain manapun. Kita tahu sekarang bahwa agamalah, tempat yang paling mudah untuk Setan menyesatkan orang! Dan itu terjadi pada ajaran-ajaran agama tertentu yang tidak mesti mereformasi, melainkan diam-diam men-degradasi tatanan kemasyarakatan atas nama Allah dan reformasi.

Pada satu sisi, ia misalnya berkata bahwa ia adalah ajaran yang berbicara tentang kebaikan dan damai, “rahmat bagi segenap alam”, tetapi dilain sisi ia pula yang mengajarkan penumpasan orang-orang kafir diatas muka bumi. Disatu sisi ia menyebutkan dirinya sebagai pendiri keadilan dan penjaga martabat bagi wanita, tetapi dilain sisi ia pula sebagai pendiskriminasi dan penjeblos wanita dalam keterpurukan seperti yang terus dilakukannya terhadap martabat perempuan sampai dengan hari ini. Betapa slogan-slogan (termasuk ayat-ayat) yang heroik yang dicekokkan berulang-ulang dapat mencuci otak dan menutupi kebohongan yang substansif. Menjadikannya mitos yang seolah masuk ke akal, diterima, bahkan mengakar! Bukankah kita telah bertubi-tubi mendengar retorika bahwa:

“Islam samasekali tidak mengradasikan wanita”, “Islam tidak pernah merendahkan wanita terhadap pria”, “Hanya pria yang tidak betul-betul Muslim yang menghina wanita”, “Justru konsep Islam tentang wanita itulah yang menempatkan mereka pada fitrah manusia yang memberi legalitas sosial yang diakui dan bermartabat, ketimbang jaman jahiliah yang menafikan kemanusiaannya.

Apakah esensinya benar demikian? Dimana dapat kita jumpai dan saksikan dengan bukti-bukti? Kita perlu mengkaji sumber-sumber historis yang memperlihatkan kepelbagaian hidup perempuan di zaman Muhammad. Dan sebenarnya tidaklah  banyak hal yang dapat diketahui dari kehidupan pra-Islam Arab, karena penyampaian catatan umum sehari-hari hanya melewati mulut dan tidak tercatat banyak dalam bentuk tulisan kecuali puisi-puisi peninggalan Islam. Dalam kemiskinan data dan bukti, orang hanya bisa gampang menjadi mangsa mentah dari retorika yang diserukan berulang-ulang oleh pihak yang mengagendakannya, seperti halnya dengan agenda memitoskan reformasi wanita Muslim dibawah Muhammad dan Islam.

Tetapi penghormatan Islam yang sejati kepada perempuan bukanlah apa yang didandani oleh segelintir sarjana Islam untuk mengkonter “perasaan bersalah” atas begitu banyak ayat-ayat Quran dan Hadis yang melecehi perempuan dan saling bertentangan. Melainkan – dan ini yang harus selalu menjadi pegangan untuk menangkap kebenaran Al-Quran, ayat-ayat dan Hadis itu sendirilah yang harus divalidasikan ke tiga arah yang relevan: apa yang Allah lihat/katakan tentang perempuan, apa yang Muhammad praktekkan atasnya, dan siapa dan bagaimana perempuan-perempuan itu sendiri terdampak olehnya?

Baiklah, kita pertama-tama melihat bagaimana Allah sendiri melihat perempuan  dalam arti yang paling mendasar. Yaitu siapa-siapa keseluruhan wanita yang ada dimunculkan Allah dalam wahyuNya di Al-Quran. Dengan mengetahui ini, kita berharap bisa melihat perempuan mana yang disebut-sebut sebagai sosok teladan yang ditinggikan Allah, atau sebaliknya yang direndahkan dan tidak dianggap layak. Ternyata Anda akan kecewa! Karena tidak seorang nama wanita yang disebut dalam seluruh Quran kecuali nama Maryam, ibunda Isa Almasih saja, yang disebutkan tidak tanggung-tanggung sampai 34 kali! Nama Khadijah yang dielu-elukan mayoritas Muslim sebagai sosok yang lebih besar kemuliaannya ketimbang Maryam, malah tidak dimunculkan samasekali oleh Allah dalam Al-Quran. Kita kadang-kadang bingung menghadapi logika Muslim yang sering tidak konsekuen bahkan menyanggah Al-Qurannya sendiri yang tidak mengelukan nama wanita manapun selain Maryam.

Dilain pihak, ada sosok yang telah sangat spesifik dirujukkan Quran, tetapi “batal” disebutkan  namanya , adalah justru salah satu istri Nabi sendiri. Ia adalah Zaynab, yang sudah dinyatakan sah diceraikan dari Zayd dan dikawinkan Allah kepada Muhammad, tetapi entah kenapa Allah (dan Muhammad) bukan menyebut dia dengan namanya sendiri yang telah merdeka dari Zayd (sehingga namanya sendirilah yang seharusnya dimunculkan), melainkan tetap menyebutnya dengan nama ikatan “mantan-istri” dari suaminya: “Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka...” (Qs.33: 37).

Perempuan perempuan bersuami yang turut disembunyikan nama dirinya dalam kisah-kisah Quran meliputi sosok-sosok sbb:

Isteri Adam (Qs.2:35, 7:19, 20:117)

Istri Imran (Qs.3:35)

Istri  Firaun (Qs.28:9)

Istri pembesar (Qs.12:30)

Istri Lot (Qs.66:10)

Istri Ibrahim (Qs.11:71)

Istri Nuh (Qs.66:10)

Istri Abu Lahab (Qs.111:4)

Istri Zayd (Qs.33:37)

Istri Nabi (Hafsah dan juga Aisyah, Qs.66:3)

Istri Abu Lahab dan Zaynab dan istri Nabi adalah tiga (atau empat) perempuan Arab yang tentu sangat dikenal baik oleh Muhammad. Dan kalau nama istri Abu Lahab (begitu pula nama Hafsah dan Aisyah) tidak mau disebut oleh Allah dan Muhammad, itu masih bisa dimengerti oleh akal kita, karena kejahatan atau “kesalahan” mereka dalam konteks ceritanya. Tetapi bila nama Zaynab  juga disembunyikan, ini memberikan PR (pekerjaan rumah) yang besar bagi teolog Islam yang sulit menerangkan kenapa  Allah sesudah memilih, menjodohkan dan mensahkan Zaynab kawin dengan Nabinya, toh Allah menghindarkan diriNya dari menyebut nama Zaynab? Tak ada jawaban yang memuaskan kecuali Allah (dan Muhammad) sendiri agaknya tidak berkenan menjejerkan nama seorang perempuan disamping nama suaminya?

Tetapi jawaban ini tentu tidak menjawab. Anda harus terus mengejar: “Kenapa Allah dan Muhammad tidak berkenan nama perempuan, termasuk istrinya yang paling terhormat, tidak mendapat tempat disamping nama suaminya?” Atau lebih tegas lagi, apakah nama-nama yang disembunyikan itu, isteri-isteri Adam, Nuh, Ibrahim, dan Khadijah, kalah layak untuk dipampangkan dalam Al-Quran ketimbang Abu Lahab? Tentu tidak.

Jawaban yang memuaskan hanya satu: Allah Islam memang menempatkan derajat perempuan – bagaimanapun terhormatnya, tidak sejajar dengan laki-laki, melainkan dibawahnya, dan yang harus dipimpin!

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka...Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka (Qs.4:34).

Al-Tabari berkata, “Dengan ayat ini Allah memaksudkan bahwa laki-laki mendapat penugasan terhadap wanita untuk menghukum dan membatasi mereka berkenaan dengan kewajiban-kewajiban mereka terhadap Allah dan diri mereka” (Jami’ al-bayan ‘an ta’will, Qs.5:57). Dan karena jelasnya (muhkamat), ketentuan ini sebenarnya telah berharga mati dan harus diadopsi dan diberlakukan untuk setiap Muslim diseluruh dunia Islam. Ia dalam dirinya tidak memerlukan tafsiran pribadi yang berbelit dan membohongi demi menghaluskan. Namun nyatanya apologet Muslim yang merasa tidak nyaman dan malu, mencoba menghindar atau menghaluskan penzaliman terhadap martabat wanita dengan segala plintiran mulut dan pena. Ini bukan kasus satu-satunya, melainkan banyak sekali di dalam Quran.

Contohnya Qs.10:94:

Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu.

Adakah Muhammad dan Muslim melakukan konsultasi kepada “Ahli Kitab” dengan rendah hati? Bukankah dengan tinggi hati mereka malahan berkata terbalik dari apa yang Allahnya perintahkan: “Muslims have nothing to learn from the infidels” (“Muslim tak perlu belajar apa pun dari orang-orang kafir”).

Kita melihat bahwa pekerjaan dari para pakar Islam yang paling signifikan adalah bagaimana mempoles dan membela Al-Quran terus-menerus supaya terdengar lebih layak, lebih serasi dan benar ditelinga. Suatu kemubaziran yang sangat tak masuk akal, mengingat Al-Quran sudah menyatakan dirinya sempurna dan tertulis dalam bahasa Arab yang terang dan jelas!

Lihatlah betapa ayat diatas dipoles dalam catatan kaki dan dalam literatur Islam. Oleh mereka, istilah-istilah asli dengan nuansa lemah dan keras, saling dipertukarkan penekanannya: penafsiran  istilah “khawatir nusyuznya” (nuansa lemah) diperkeras menjadi “khawatir karena terfakta pembangkangannya”). Sebaliknya istilah  “pukul” (nuansa keras) dijelaskan dengan “pukul yang tidak menyakitkan/meninggalkan bekas”. Umumnya makna “khawatir” malah dihilangkan dan langsung diartikan saja nusyuznya/pembangkangannya, yaitu pembangkangan dari kewajiban sebagai isteri, apa saja, seperti tidak taat, tidak melayani nafsu berahi suami, meninggalkan rumah tanpa izin suami dll.

Selanjutnya istilah “pemimpin” dan “Allah melebihkan pria atas wanita” (nuansa keras) juga diperlemah tafsirannya/penjelasannya seolah  menjadi sekedar “berbeda dan saling melengkapi”, bukan soal superior dan inferior. Para apologet ini memainkan analogi yang terdapat dalam pelbagai jenis tanaman yang diciptakan Allah, namun mereka saling melengkapi (Maulana W. Khan, Women in Shari’ah, p.46-47).

Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebahagian tanam-tanaman itu atas sebahagian yang lain tentang rasanya (Qs.13:4).

Sia-sia semua silat lidah yang tidak jujur dan menyeleweng. Anda tidak bisa membela dengan yang bukan maksud Allah, karena istilah tersebut (pemimpin dan melebihkan pria) sesungguhnya lebih baik bagi perempuan ketimbang posisinya sebagai semacam “barang milik” saja sebagaimana yang terimplikasi dalam ayat lain, dan dikaitkan lagi sebagai obyek seksual!

Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki (Qs.2:223).

Untuk mensetarakan kedua gender, para apologet Islam hanya mampu menyodorkan beberapa ayat Quran dan Hadis yang samasekali tidak memperlihatkan kesetaraannya, melainkan paling-paling memperlihatkan penghargaan-umum Tuhan atas semua ciptaannya.

Contoh seperti kutipan dalam pelbagai Hadis:

Perempuan adalah paruhan lain dari laki-laki

Takutlah akan Allah dengan menghormati wanita

Surga ada dibawah telapak ibu

Perlakukan wanita dengan baik, sebab mereka diciptakan dari tulang rusuk

Ingatlah, istri-istri mu mempunyai hak atas kamu, dan kamu mempunyai hak atas istri-istrimu

Bila setan masih menghargai sesama setan, maka tentu saja wanita dan manusia manapun perlu dihargai oleh sesama manusia lainnya. Jika setan masih mempunyai wewenang tertentu, tentu saja istri siapapun mempunyai hak tertentu sekalipun marginal seperti gundik. Ayat/ungkapan-ungkapan diatas samasekali bukan rujukan (apalagi bukti) bahwa keadilan gender sudah ter-reformasi dalam Islam oleh Muhammad. Apalagi diperhadapkan dengan begitu banyak ayat dan Hadis shahih mukhamat yang tidak ada caranya untuk dibantah dengan layak, disamping Muhammad sendiri tidak tampak mereformasikan status wanita dan perbudakan/pergundikan secara konsepsional, riil, konsekwen, dan dengan semestinya. Yang ada pada Muhammad hanyalah kasus  insidentil berbuat satu “kebaikan” yang lalu terhapus oleh sederetan “ketidak-baikan” lain yang dibiarkannya. Sepanjang yang kita tahu, Muhammad hanya konsekwen dalam beberapa bentuk ibadah, serta membasmi orang kafir dan memunahkan kaum Yahudi. Namun ia tidak pernah tercatat sebagai model bagi peradaban moral. Ia misalnya, pernah memerdekakan beberapa orang budak yang berkenan di hatinya, tetapi sungguh Muhammad tidak membebaskan sistem dan konsep perbudakan dan pergundikan itu sendiri. Karena apa? Karena ia masih menyimpan banyak budak dan gundik bagi dirinya hingga akhir hayatnya! 

Islam sebagai heritage (pusaka warisan) Muhammad diteruskan kepada Muslim sebagai pendulum bergoyang yang tidak mempunyai settled-point, kecuali ditentukan secara paksa dan semu, tanpa substansi dititik Nadir yang ditetapkan oleh para Imam. Di rumah-Luar, ia berjihad dengan berperang dan mengganyang “musuh-musuh Allah” dalam rangka Islamisasi (Dar al-Harb). Di rumah-Sendiri (Dar al-Salam), yang seharusnya damai, ia tetap tidak  damai apalagi mencapai “rahmatan lil alamin” yang Allah janjikan. Rumah Damai ini terus digoyang dan bercakaran karena konsepsi Islam yang berorientasi pada tradisi pra-Islam yang tak dapat terus bertahan secara tirani menghadapi arus ilmu dan teknologi, demokratisasi dan hak-hak azazi. Pendulum bergoyang ke kanan dan sebentar ke kiri persis seperti yang dinubuatkan oleh Musa bagi Ismail yang dianggap mewakili Islam:

Seorang laki-laki (Ismail) yang lakunya seperti keledai liar, demikianlah nanti anak itu; tangannya akan melawan tiap-tiap orang dan tangan tiap-tiap orang akan melawan dia, dan di tempat kediamannya ia akan menentang semua saudaranya (Kejadian 16:12).

Azaz pendulum, ini terlihat dimana-mana dalam Islam yang di satu pihak berslogan sebagai kampiun dalam mempromosikan keadilan wanita serta peningkatan statusnya, tetapi dilain pihak terpuruk dalam konsepsi wanita yang tidak terselesaikan hingga hari ini, 1400 tahun berkutat tiada henti!

Secara ringkas, posisi perempuan telah utamanya ditetapkan sebagai bawahan laki-laki dalam arti kata yang sebenarnya. Malu dan tidak enak didengar, tetapi betul bahwa oleh Allah dan Muhammad, mereka boleh dijadikan barang milik, bagaimana saja laki-laki kehendaki. Ini memberi konsekwensi dan implikasi yang sangat luas bagi keterpurukan status wanita dan sebaliknya, superioritas dan dominasi laki-laki. Dan meliputi hampir di segala bidang kehidupan yang utama, di dunia dan di akhirat:

  • Pernikahan
  • Perceraian
  • Kesaksian Hukum
  • Hak Waris
  • Ketertutupan Diri
  • Pendisiplinan
  • Pergundikan
  • Sunat
  • Kesempatan ke Firdaus

Note Ringkas:

* Nikah yang boleh poligamous. Bahkan ada yang boleh kawin kontrak (mut’ah) yang memberi ruang untuk prostitusi terselubung.

* Perceraian hanya menjadi hak pria, dan tidak membutuhkan alasan. Laki-laki hanya perlu mengucapkan “Talaq” dan itulah vonisnya.

* Kesaksian hukum dimana satu pria nilai kesaksiannya setara dengan dua wanita. Artinya kesaksian setiap perempuan kurang bisa dipercaya, siapapun dia.

* Hak waris wanita juga separuh dari hak laki-laki, sebagai hukuman atas kebodohan wanita dalam otak dan dalam agama.

* Ketertutupan Diri, tidak nampang di publik, tidak bepergian sendiri tanpa muhrimnya.

* Pendisiplinan, yang bisa dijalankan suami dengan memukul si istri hanya atas dasar kecurigaan saja akan pembangkangan si istri. Muslim coba memperhaluskan pukulannya. Tetapi Qatada meriwayatkan: Istri Ayub tidak taat kepadanya. Maka nabi Allah (Ayub) bersumpah bahwa ia akan mencambuk istrinya 100 cambukan nanti ketika Allah menyembuhkannya (al-Tabari 23:169).

* Pergundikan; Islam mengakui bahwa laki-laki mempunyai hak memiliki gundik-gundik bersama dengan istri atau para istrinya. Sharia mengizinkan Muslim berhubungan sex dengan budak perempuan Muslim (atau perempuan ‘ahli-kitab’).

* Sunat wanita, demi untuk mereduksi nafsu berahi wanita dan menjaga “kehormatan dan martabat”nya. Entah kehormatan dan martabat macam apa yang akan mengangkat kaum wanita tersunat ini.

* Kesempatan ke Firdaus, maaf, tiket minoritas untuk wanita.

Kita dapat menyodorkan berpuluh-puluh ayat Al-Quran dan Hadis yang terlalu luas untuk disajikan disini. Anda pembaca disarankan untuk menyimaknya sendiri dipelbagai periwayatan tradisi dan sejarah yang dicatat oleh tokoh-tokoh ternama dan terpercaya dari sumber Islam sendiri seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Abu Dawud, Ibn Ishaq, Ibn Maja, Ibn Hisham, Al-Tabari, Ahmad Ibn Hanbal, Al-Suyuti, dll. Dan tentu saja Al-Quran.

Cukuplah kita disini mencatatkan beberapa yang “menjijikkan” bila itu dipercaya sebagai perkataan atau kehendak Allah atau Muhammad. Simak antara lain:

Qs.4:32 dan 38:44 mengizinkan pemukulan istri

Qs.2:228 dan 24:31 yang meletakkan wanita dibawah pria.

Qs.5:6 yang menganggap wanita itu najis dalam kaitan salatnya pria.

Qs.4:24 dan 33:52 yang melecehi budak wanita.

Qs.53:27 yang menafikan iman seseorang bila ia menamakan malaikat itu dengan nama wanita.

Hadis Bukhari yang meriwayatkan alasan surgawi kenapa wanita itu nilainya separuh pria, yaitu karena kurang otaknya dan kurang agamanya (HSB 6/301).

HSB yang menegaskan wanita sebagai penghuni mayoritas neraka (bahkan ada Hadis Kanz al-ummal 22:10, yang meriwayatkan wanita sebagai penghuni neraka dengan porsi sebanyak 99%! Sekalipun mungkin ini Hadis yang lemah, bukankah hal ini telah mencerminkan tradisi Islam yang melempari/merajam kaum wanita?).

HSB 62:81 yang meriwayatkan bahwa hal terpenting yang dibawa oleh wanita ke dalam pernikahan adalah apa yang ada diantara kedua kakinya!

HSB 62:58 yang menjelaskan betapa wanita-wanita yang disodorkan kepadanya, apabila dia (Muhammad) tidak berkenan maka dihadiahkan kepada pria lainnya!

Hadis Muslim 4:1039 yang meriwayatkan Aisha berkata kepada Muhammad: “Engkau telah menyamakan kami dengan anjing dan keledai”.

Jadi, siapa yang sejujurnya dapat berkata bahwa Islam di masa Muhammad membawakan pembaharuan pada martabat wanita ketimbang jaman Jahiliah? Tentu saja Anda Muslim bisa menang berdebat-kusir bila memotret Jahiliah dengan contoh lingkungan primitif yang sangat ekstrim, dimana wanita tidak dianggap sebagai entitas manusia. Itulah potret yang membodohi diri sendiri.

Muhammad, Juara atas Hak-Hak Wanita

Banyak dari para cendikiawan Muslim yang menyatakan pada hari-hari ini, bahwa Muhammad adalah seorang pejuang hak-hak wanita, yang bertanggung-jawab membawa persamaan hak di antara kaum wanita di Arab. Bagi mereka yang tidak mengetahui bagaimana pejuang hak-hak wanita itu, bahwa pejuang tersebut pertama-tama haruslah seseorang yang menjunjung tinggi nilai wanita secara persisten, sensitif terhadap perasaan mereka, dan memperlakukan mereka dengan respek dan martabat yang tinggi. Ada pihak yang tak berani berterus terang berkomentar, tetapi tentu sebagian besar harus menyatakan bahwa Muhammad adalah juara atas hak-hak wanita. Mereka menyatakan bahwa Nabi juara pergerakan yang memberi wanita hak perlindungan dan respek dalam kebudayaan “jahiliah” yang tadinya memperlakukan mereka sebagai orang yang tanpa entitas. Tetapi apakah itu benar? Apakah itu dan bagaimana buku-buku internal Islam sendiri menggambarkan Muhammad?

Kita akan mendiskusi dua aspek dari sudut Muhammad dan Islam:

* Apakah Muhammad bertanggungjawab membawakan persamaan hak diantara kaum wanita dan meningkatkan status wanita di Arab? Atau apakah dia merendahkan kedudukan mereka di masyarakat?

* Bagaimanakah perasaan Muhammad tentang wanita dan hak-hak mereka?

Wanita dalam masa pra Islam Arab

Perlu dicatat bahwa ada bias-Islamik dalam pengistilahan berdasarkan periode waktu sebelum kedatangan Islam. Muslim menggambarkan waktu itu sebagai Jahiliya yang artinya jaman kebodohan atau kegelapan. Pengistilahan seperti itu tentu saja sudah mendiskreditkan apapun yang terjadi di zaman pra-Islam, termasuk kehidupan moral, agama dan kemartabatan wanita didalam kehidupan sosial. Sejarah pra-Islam Arab yang miskin karya tulisan sulit membela dirinya ketika distigmatisasi oleh pihak Islam sebagai komunitas yang gelap dan bodoh, dengan menyodorkan sejumlah dongeng yang merendahkan mereka.

Jadi bagaimanakah sebenarnya kehidupan wanita Arabia sebelum Islam? Apakah seburuk yang digambarkan para Islamis hari-hari ini? Dan hal-hal penting apakah yang dilakukan Muhammad dan Islam dalam meningkatkan status wanita sebagaimana yang diklaim para apologet Muslim?

WHAT IF kaum wanita Muslim malahan lebih buruk kondisinya sesudah Islam? Dibawah ini kami secara bebas memetikkan bagi Anda bagian dari karangan Rashid Alamir dalam bukunya yang bagus: The Truth about Muhammad, vol.2.

Untuk menemukan jawaban, kita perlu melihat sumber sejarahnya, yang menggambarkan kehidupan di seputar masa Muhammad. Ada dua sejarawan Islam, Ibn Ishaq dan al-Tabari yang melukiskan pelbagai peristiwa tentang kehidupan wanita di Arab sebelum Islam.

Menurut Sirat Rasul Allah oleh Ibn Ishaq, yang diterjemahkan oleh Muhammad b. Yasr, ada begitu banyak suku-suku yang mendiami Arabia sebelum keberadaan Muhammad. Suku-suku ini mempunyai tabiat dan budaya yang berbeda-beda. Di beberapa suku, wanita mempunyai kedudukan yang rendah, sedang di suku-suku yang lain, para wanitanya menikmati banyak kebebasan dan kemandirian yang mana justru kemudian dikekang oleh pemberlakuan hukum-hukum Islam yang ditegakkan oleh Muhammad dan pengikutnya.

Pada halaman 59 dari “Sirat”, diceritakan kisah tentang seorang wanita bernama Salma d. ’Amr. Disebutkan bahwa dalam kedudukannya di posisi yang tinggi di antara kaumnya, dia akan menikah dengan syarat bahwa dia harus tetap mempertahankan  kontrol atas pekerjaan dan urusannya. Apabila dia tidak senang terhadap pria tersebut, dia dapat meninggalkannya. Wow! Tidakkah sikap kemandirian dan tuntutan ini tidak terjadi di kalangan wanita-wanita yang “sudah ditingkatkan” Muhammad dan Islam? 

Pada halaman 68, seorang wanita melamar untuk menikah dengan Abdullah: “Apabila Anda mau mengambil saya, anda dapat mengambil (dari saya) unta-unta sebesar korban yang anda rasa telah berikan.” Kalau perempuan-perempuan pra-Islam semacam ini hanyalah budak belaka (tidak mandiri)  tanpa hak-haknya, tentulah mereka ini tidak mungkin memiliki unta-unta, dan merekapun tidak diizinkan melamar pria untuk pernikahannya. Di banyak Negara-negara Islam hari-hari ini, wanita justru tidak dapat menikah tanpa seizin dari seorang wali pria.

Sampailah contoh kepada Khadijah, istri Muhammad yang pertama. Ia adalah seorang pedagang kaya yang mempekerjakan sejumlah orang pria. Muhammad sendiri mulai bekerja padanya sebagai karyawan, dan bukankah akhirnya Khadijah yang melamar untuk menikahi Muhammad? Catat! Sedikitnya  ada lima kemartabatan Khadijah yang dimilikinya diatas wanita Islamis shariah: (1) seorang perempuan pedagang besar (successful business woman), (2) memimpin sejumlah pegawai bawahan, dan (3) melamar pria yang diinginkannya sendiri untuk dikawini! Dan (4) dialah satu-satunya istri Muhammad sampai ia wafat! Bahkan kebanyakan Muslim tidak tahu (karena disembunyikan oleh ulamanya) bahwa (5) Khadijahlah – dan bukan siapapun lainnya, yang membuktikan sekaligus men-sah-kan kenabian Muhammad!

Fitnah? Kalau begitu, tolong jawablah siapa yang sudah membuktikan secara sah bahwa Muhammad itu betul Nabi Allah. Tidak ada, kecuali seorang perempuan “Kristen” yang bukan nabiah, bahkan belum jadi Islam, yang mengakuinya!

Ya, Khadijah sangat bingung menghadapi keadaan suaminya yang seperti orang gila ketika pulang dari gua Hira, dan mengaku dirinya dikunjungi dan dicekik oleh satu Ruh yang tidak dikenalnya. Setelah mendapat penerangan dari  Waraqah bin Naufal, maka Khdijah yakin bahwa suaminya adalah sosok pilihan khusus Tuhan. Sejak itu Khadijah mati-matian mencoba meyakinkan Muhammad bahwa ruh yang mengunjungi suaminya di gua Hira itu mustahil jin atau ruh jahat, dengan alasan bahwa suaminya itu orang yang “berakhlak mulia, tidak pernah berdusta, atau menyakiti hati orang lain” (lihat Muqaddimah Al Quran, Terjemahan DEPAG). Khadijah terus meyakinkan suaminya (yang belum berdakwah sebagai nabi) bahwa mustahil ia dikunjungi setan. Dan dalam obsesinya, akhirnya ia mendisain sendiri suatu testing-system untuk “pembuktian-ruh” yang sekaligus meneguhkan kenabian suaminya. Dalam mukadimah Al-Quran yang diterjemahkan Mohammed M. Pickthall, kasus ini disebutkannya sebagai Khadijah “tried the spirit”.

Menurut pelbagai periwayatan yang bersumber dari Khadijah, testing terhadap ruh-pewahyu, justru dilakukan oleh Khadijah, bukan Muhammad. Dikisahkan bahwa Khadijah mendudukkan Muhammad ke pelbagai posisi dikakinya (kiri, kanan, dan pangkuan selangkang) ketika Jibril datang menghampiri Muhammad. Ternyata di semua posisi kaki itu Muhammad masih bisa melihat ruh itu. Hanya ketika Muhammad didudukkan kepangkuannya dikala kain cadar Khadijah dicampakkan – maka ketika itulah ruh tersebut langsung menghilang (karena tidak mau menyaksikan adegan mirip hubungan seksual). Atas kejadian itulah Khadijah bersorak dan berkata kepada Muhammad bahwa itulah tandanya bahwa ruh tersebut benar malaikat dan bukan setan! (Ibn Hisham, The Life of Muhammad, vol.I/ p.71, Light of Life. Juga Haekal, p.84)

Siapapun tahu bahwa jenis testing ala Khadijah ini, hanyalah sebuah pemahaman mistik pribadinya yang bersifat angan-angan. Itu dikaitkan dengan adegan “ketidak pantasan”, dimana dianggap bahwa perempuan tanpa cadar yang berpangkuan dengan suaminya tidaklah pantas ditonton oleh makhluk mulia dan kudus semisal ruh Jibril. Itu hanya akan ditonton dengan penuh nafsu oleh jin! Tetapi yang paling disayangkan adalah bahwa testing “home-made” dari sepasang suami-isteri semacam ini tidak ditolak oleh Muhammad, melainkan justru dianggap sah baginya untuk menjadi nabi Allah! (Miryam Ash)

Kembali kepada pokok masalah kita. Muhammad tidak pernah menentang Khadijah. Khadijah tidak seperti tertindas atau menjadi wanita tidak berharga bagi Muhammad. Anehnya dan liciknya, para Islamis justru selalu mengutip Khadijah untuk dijadikan model kemandirian wanita Islam dan sebagai pejuang hak-hak wanita. Tetapi yang tidak mereka kutip adalah fakta bahwa sebagian besar masa kehidupannya, adalah masa sebelum hukum Islam diberlakukan. Jadi, adakah 5 kemandirian yang dimiliki oleh perempuan Khadijah itu terjadi pada istri-istri Muhammad setelah diberlakukan hukum-hukum Islam di Medinah (yang dislogankan sebagai reformasi martabat wanita)? Adakah martabat dan kemandirian perempuan Islam terangkat dibawah syariah Islam atau justru ter-degradasi?

Berikutnya, pada “Sirat” halaman 73 kita diberitahukan bahwa Abdul Muttalib mengetahui bahwa hari kematiannya sudah dekat, maka ia memanggil keenam anak-anak perempuannya dan berkata kepada mereka supaya mereka menggubah syair perpisahan baginya agar supaya dia dapat mendengarkan apa yang mereka mau bacakan sebelum dia mati. Jikalau anak-anak perempuan itu dipandang rendah pada masa itu, mengapa orang laki-laki ini meminta mereka semua menggubah syair pujian sebelum kematiannya? Harap diketahui bahwa pada suku dengan tradisi yang sangat merendahkan perempuan, mempunyai 6 putri dan dibiarkan hidup, semuanya adalah suatu keaiban keluarga dan sukunya! Hari-hari ini bahkan sebagian besar wanita Islam tidak diperkenankan menghadiri suatu pemakaman umum, apalagi meminta mereka membacakan kata-kata pujian di depan publik.

Pernah terjadi perselisihan antar dua orang pria (halaman 196)...tentang seratus ekor unta, dan mereka menunjuk seorang wanita peramal sebagai wasit, dan ia memberikan keputusan tentang masalah tersebut. Segera tampak bahwa wanita itu adalah seorang hakim yang nilai keputusannya tidak didiskon samasekali. Ini adalah kontras dengan kejadian didunia Islam 14-an abad kemudian, dimana pada tahun 2005 para Islamis masih menuntut bahwa wanita tidak layak untuk menjadi hakim dan nilai kesaksian mereka hanyalah separuh dari kaum pria!

Jadi benarkah Islam membebaskan degradasi wanita sedunia? Kebenarannya adalah justru bahwa sebelum masa Muhammad, sebagian besar suku-suku masih menjunjung tinggi sosok wanita. Mereka tidak dianggap sebagai binatang dalam rumah tangga yang bisa dipukul, atau sebagai anjing dan keledai najis, ladang yang dibajak sekehendak hati, atau pabrik yang memproduksi bayi, atau si jahat yang hanya karena terpaksa diperlukan, budak yang tak boleh gentayangan sendirian, objek pemuasan seks penghibur kaum pria, atau anggota harem yang dijejalkan sesuka jumlahnya. Adalah Muhammad yang mengajukan gagasan-gagasan tersebut melalui Alquran dan Sunnah. Jadi bagaimana fungsi panggilan Allah kepada Muhammad untuk memerdekakan Arabia (dan kelak dunia) dan membebaskannya dari zaman jahilliah pra-Islam yang zamannya penuh dengan kebodohan dan kegelapan? Sejak kapankah Islam yang dibawakannya telah menjadi sumber pembaharuan,  inspirasi, dan tolak ukur untuk semua peradaban dunia...dan untuk tidak bermuluk-muluk, memajukan harga dan status wanita Arabia yang sedang dianggap rendah-rendahnya dikala itu.

Jelas keberadaan wanita pada waktu itu adalah lebih baik daripada wanita sharia Islam pada hari ini. Namun apologet Islam melukiskan Jahiliya sebagai masa kegelapan demi dapat menampilkan pandangan Muhammad seolah “lebih baik” tentang wanita. Semasa Jahiliya setiap orang dari agama yang berbeda justru dapat hidup dengan damai satu dengan yang lain. Adalah sesudah Muhammad membentuk Islam, maka Arab berusaha menaklukkan dunia dan memaksanya menjadi Islam, dan kebebasan serta harga diri wanitanya tercabut. Jadi siapa yang “jahil” dan masa mana yang lebih “jahiliah”? Tidak diragukan bahwa di dalam bentangan masa Jahiliya yang didiskreditkan itu, pasti ada tersedia sorga bagi orang-orang Arab, dibandingkan dengan apa yang ditawarkan Islam hari-hari ini.

Mana yang jahiliah? Sebenarnya kita tanpa sadar telah terbawa arus kebodohan dan kegelapan Islam dengan hanya menghadapkan kondisi wanita Islam versus jahiliah pra-Islam dalam hal perlakuan terhadap perempuan. Sebab yang lebih layak dan esensial untuk diperbandingkan adalah justru Nabi manakah yang lebih pantas memperlakukan wanita dalam hak-hak dan kehormatannya, Yesus atau Muhammad yang datang 600 tahun sesudahnya?! Dalam membawa risalah Tuhan yang dianggap sama oleh Muslim (antara Yesus dan Muhammad), seharusnya ajaran dan perilaku Muhammad “mereformasi” apa yang telah dilakukan oleh Yesus dimasa “Jahiliah” 6 abad sebelumnya! Jadi, adakah itu reformasi Islamik terhadap Injil Yesus dalam soal perlakuan terhadap wanita? Mari kita saksikan...

Akhirnya, bagaimana dengan reformasi Yesus tentang wanita?

Para pengikut Yesus percaya akan model pembaharuan yang diserukan Yesus karena keteladananNya yang senyawa dengan apa yang diperkatakanNya. Ia memberi perhatian dan waktu khusus untuk mengajari wanita, dan bukan untuk melirik keseksiannya untuk dijadikan selir, gundik atau istrinya.                                       

Tertulis, “Maria duduk dekat kaki Tuhan  dan terus mendengarkan perkataan-Nya”. Dan kepada Marta Ia mengajar sekaligus menegur:

Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara,  tetapi hanya satu saja yang perlu: Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya (Lukas 38-42).                                                                 

Penghormatan Yesus bahkan juga didemonstrasikanNya kepada seorang wanita yang berdosa, yang datang kepadaNya untuk mendapatkan belas kasihNya. Dan dia mendapatkannya dengan cuma-cuma (Lukas 7:36-39). Dikisahkan juga betapa Yesus sengaja mematahkan penghalang rasial dan kultural demi menunjukkan identitasNya yang sesungguhnya sebagai Mesias kepada seorang perempuan Samaria, yang tidak bersahabat dengan bani Israel (Yohanes 4:1-42). Dan sampai akhirnya setelah kebangkitanNya, Yesus justru memberi kehormatan kepada murid wanitaNya sebagai orang pertama-tama diantara murid-muridNya yang menjadi SAKSI atas kebangkitanNya (Matius 28:8-10). Artinya, nilai kesaksian wanita diangkat dan dihargai Yesus sama dengan lelaki, dijadikan model tentang kemartabatan yang sama, dan tidak malah menekannya menjadi separuh kesaksian pria.

Sekalipun ada pihak yang mempermasalahkan beberapa pasal Alkitab yang dianggap bahwa pria dan wanita mempunyai peran yang berbeda dalam urusan rumah tangga dan gereja, namun para pengikut Kristus semuanya setuju bahwa Alkitab mengajarkan dengan jelas kesetaraan pria-wanita. Bukankah Alkitab sejak awalnyapun telah mengungkapkan bahwa Tuhan Elohim menciptakan “laki-laki” dan menciptakan “dia” sebagai sepasang “laki-laki dan perempuan”. Keduanya diciptakan dalam imago Tuhan (Kejadian 1:27). Di mata Tuhan, suami dan istri menjadi satu dalam pernikahan (Kejadian 2:24). Dalam Perjanjian Baru dikatakan bahwa sebagai anak Tuhan semuanya menjadi satu:

Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus (Galatia 3:28).